Penyesalan Yang Belum Berlalu
![]() |
Perekah-kata.blogspot.com |
Sudah
tujuh tahun berlalu, tapi perasaan itu tetap saja menetap diam dalam hati dan
pikiranku. Seringkali aku menyesali diri yang saat itu tidak berani menyatakan
perasaan pada seorang perempuan. Perlahan perasaan sesal itu menghantuiku, kian
muncul di setiap malamku, menggodaku untuk merenung dan diam dalam tanya:
Kenapa
dulu aku tak berani?
Apa
bisa aku kembali ke masa lalu?
Di
tengah lamunanku sembari menatap kerlip bintang yang genit di balik jendela. Entah
kenapa aku melihat sebuah cahaya nan begitu terang. Cahaya itu muncul tak jauh
dari pohon jambu di sebrang halaman rumahku. Aku penasaran dan segera melompat dari
jendela menuju cahaya itu.
Di
balik pohon jambu aku kian menatap heran akan cahaya itu. Sedikit takut aku berjalan
gontai mendekatinya. Lalu sampai jarakku tak kurang lima meter dari cahaya itu,
sesaat kemudian aku melihat jelas cahaya itu berwarna hijau dengan gradasi putih
menjubahinya. Cahaya itu seperti lingkaran besar, membentuk sebuah lorong
cahaya.
Tiba-tiba
aku yang tengah heran memperhatikan cahaya apa itu, mendapati satu tarikan aneh,
begitu kuat. Aku mencoba lari menjauhinya, lalu berpegang pada pohon jambu.
Namun sial, pohon jambu tak mampu
menahan tarikan itu, dan aku terombang-ambing bersamnya, tertarik masuk ke arah
cahaya itu.
Hening…
geming… sepi… sunyi… ruangan tampak kosong, semuanya berwarna putih tak
berujung. Tak ada apapun, kecuali satu pohon jambu yang terus melayang-layang
ke sana kemari. Aneh.
Kenapa
hanya aku dan pohon jambu masuk terhisap?
Di
mana para jangkrik, rumput, tanah atau semua yang ada di dekat halaman depan
rumahnya? Seharusnya ikut juga terhisapkan?
Ahh!
Atau mungkinkah ini mimpi?
Aku
mencoba menampar wajahku sendiri, lalu berulang kali aku mencubit pipiku. Keadaannya
masih sama: aku tak terbangun. Hingga…
“Anak
muda, kamu mau kembali ke tahun berapa?” sebuah suara yang menggelegar bertanya
aneh dan tiba-tiba.
Aku
sungguh terkejut dengan suara itu. Entah dari mana suara itu muncul, sedang
ruangan masih tetap kosong dan berwarna putih menyeluruh. Sungguh tidak mungkin
jika pohon jambu yang tengah melayang-layang itu yang bersuara.
“Anak
muda, kamu mau kembali ke tahun berapa?” Suara itu bertanya kembali.
Aku
kembali diam, menelan ludahku sembari menatap heran pohon jambu itu—tidak
mungkin.
“Anak
muda, kamu mau kembali ke tahun berapa?”
“Ma-maksudnya
gimana? D-dan siapa kamu? apa kamu pohon jambu?” tanyaku beruntun.
“Dasar
bodoh! Jawab saja, jangan banyak tanya!!”
“Hah?!”
aku terperanjat lebih kaget kali ini, bisa-bisanya aku dikatain oleh suara tak
jelas ini. Aneh.
“Beri
saya waktu!” Aku mengehela nafas panjang. Menenangkan pikiranku. Kemudian aku
berpikir jika tawarannya memanglah nyata maka tentulah aku harus segera
mengambilnya, pergi melintasi waktu. Dan sudah lama rasanya aku ingin bertemu
dengan satu orang perempuan di masa lalu. Sama lamanya dengan rasa sesal yang
mendiamiku.
Aku
tersenyum menatap sekeliling yang tampak masih putih menyelimuti seluruh ruangan
pun pohon jambu yang masih melayang-layang. “Jika penawaran ini nyata. Mohon
bawa saya pergi menuju tahun 2013. Tepatnya bulan Agustus tahun 2013!”
Tak
ada jawaban.
“Mohon
bawa saya pergi menuju tahun 2013. Tepatnya bulan Agustus tahun 2013!”
Masih
tak ada jawaban dan tak ada yang terjadi.
Ruangan
masihlah sunyi, hingga aku berpikir apa mungkin semua ini memanglah mimpi? Mana
mungkin ada yang bisa membawaku pergi ke masa lalu. Tapi hatiku
menginginkannya: masa lalu.
“Bukankah
anda barusan menawarkannya pada saya! Saya ingin bertemu dengan seseorang. Saya
sudah lama merindukannya. Saya sudah lama memendam rasa sesal ini. Saya
berharap ada kesempatan untuk kembali ke masa itu. saya ingin merubahnya. Saya
mohon. Jawab saya”.
Keadaannya
masih sama, tak ada jawaban dari suara aneh itu. Aku ternyata dipermainkan.
Kesal. Betapa bodohnya aku malah mengindahkan dan menjawab penawaran suara aneh
itu. Betapa bodohnya karena aku percaya dengan hal-hal tentang kembali masa
lalu. Betapa bodohnya karena merasa senang telah mendapat peluang untuk
memperbaiki masa lalu.
“Baiklah
kalo begitu, kembalikan saya lagi! Bawa saya pulang pulang ke rumah lagi. Hei!”
dengan nada geram aku meminta kembali.
Dan
tak ada jawaban apapun lagi.
Aku
merasa lebih kesal, untuk apa juga aku di sini, di ruang kosong yang semuanya
tampak putih. Hanya aku dan pohon jambu yang terus berterbangan kemana-kemana
menjatuhkan beberapa buahnya.
Satu-dua
buah pohon jambu jatuh tepat di dekat kakiku. Aku mengambilnya satu, hendak
memakannya, sial buah yang jatuh sudah sedikit busuk termakan ulat.
“Kalo
tidak bisa bawa saya pulang, tolong kasih saya beberapa makanan. Saya lapar.”
Lagi,
aku kembali tak mendapat jawaban apapun.
Sekarang
aku lebih kesal lagi. Andai saja pemilik suara itu terlihat, akan aku lempar
dengan jambu busuk.
“Baiklah,
saya muak. Terima ini!!” Aku melemparkan jambu busuk ke sembarang tempat.
Jambu
itu terlempar jauh sampai tak terlihat. Aku heran ke mana jambu itu terlempar,
bukankah tempat ini tampak seperti tak berujung ah semoga saja mengenainya.
Beberapa
saat kemudian jambu yang ku lempat, tampak melesat kembali. Menghampiriku
dengan cepat. Aku mencoba menghindar tapi tiba-tiba aku tak bisa menggerakan
tubuh dan kaki sama sekali. Aku hanya mampu memejamkan mata, Dan….
Dug!
Tepat
sasaran mengenai kepalaku.
Aku
mencoba membuka mata, sial kini aku pun tak bisa. Mataku terlalu kuat memejam.
Plak!
Suara
gamparan pelan kemudian menyasarku. Bukankah aku hanya melempar jambu? Sial
kenapa harus ada gamparan?
Sejurus
kemudian tubuhku digoyangkan. Siapa?!
“Ka!
bangun!
“Ka…!
bangun…!”
Aku
akhirnya bisa membuka mataku. Tampak perempuan dengan blazer biru
berdiri disampingku. Aku berusaha menatap jelas sekelilingnya. Kini lebih
berwarna dan banyak diisi oleh beberapa benda. Dan itu benda-benda kantor: meja
dan kursi, berkas-berkas juga semua property yang terpajang di dinding.
Aku
tengah berada di dalam kantor?
Aku
senang tidak lagi ditempat aneh itu. Tapi aku heran kenapa bukan pulang ke
rumah? kantor siapa pula ini? Dan kemana perginya pohon jambu?
Aku
kembali menatap sekeliling. Ke bawah. Ada jambu yang tergeletak di bawah sepatu
pentopel ku. Aku memungutnya, menatap jambu itu. Tampak jambu
yang berbeda, tidak busuk.
“Malah
lihat jambu…” perempuan dengan blazer biru itu mendengus.
“Kamu
yang tadi lempar jambu ini?” tanyaku yang masih berusaha mencerna situasi.
“Bukan,
tapi si Sandi. Tadi dia iseng. Lagian siapa suruh tidur.”
Oh
Sandi. Jadi suara itu juga suara Sandi? Aku menggangguk mencerna.
Sejurus kemudian. Rasa bingung tiba-tiba menyerta muncul di kepalanya. “Eh,
Sandi? Sandi siapa?”
Aku
menengadah melihat wajah perempuan dengan blazer biru itu.
Deb.
Hatiku
terkejut menatap wajah perempuan itu. Rasanya sudah lama sekali tak melihatnya.
“Sekarang
pura-pura hilang ingatan.” Permpuan itu kembali mendengus.
“Mira?
K-kok bisa?” Aku sungguh bingung.
Mira
mengernyitkan dahi. “Apaan sih, Ka, gak lucu! jangan pura-pura lupa gitu ah.”
“Aku
gak pura-pura, aku serius. Kok bisa kamu sekantor denganku? Dan, dan Sandi itu
siapa?”
Mira
tampak geleng-geleng kepala. “Tau ah pusing. Nanti saja bercandanya. Temenin
aku makan siang, yuk!”
Aku
mengangguk iya. Menurut. Berjalan mengikutinya. Sambil pandanganku masih
menatap heran dan bingung dengan sekeliling.
Aku
mengikuti Mira, keluar, “Mir!, Sebentar. Aku mau tanya satu hal. Sungguh aku
agak bingung”
Mira
hanya mengangkat bahu, tetap berjalan tak mengindahkan ucapanku, “Kalau mau
ngobrol, ayo sambil makan,” ucapnya dengan langkah terburu-buru.
Dari
kantor, kami bejalan ke arah kiri, menyeberang jalan menuju gedung Kejaksaan
Negeri Garut. Lalu belok kanan menuju arah alun-alun Garut, dan menyebrang
menghampiri jajaran pedagang kaki lima. Tak terhitung banyak pedangang makanan
dan minuman berjajar di setiap trotoar
depan alun-alun, ada tukang siomai, tukang mie ayam, tukang gorengan, tukang es
kelapa, dan tukang-tukangan lainnya yang menjajalkan makanan dan minuman.
“Mau
makan apa?” tanya Mira.
“Mie
ayam aja.”
“Mang,
Mie Ayamnya dua, makan di sini!”
“Oh
iya, Kamu tadi mau tanya apa, Ka?”
“Sekarang
tahun berapa?”
Mira
diam sesaat, “Kamu gila? cuman mau tanya itu doang?” Mira terbelalak getir
mendengarnya.
“Eh
kenapa? Aku gak lagi bercanda.”
“Sekarang
tahun gajah!” jawabnya sembari mendengus.
“Ih,
Serius, Mir!!”
“2013!
Aneh banget kamu, sampai gak tahu angka tahun segala.”
Aku
berkeringat dingin setelah mendapat jawaban Mira. Sangat kaget bahwa aku
ternyata kembali ke masa lalu. Pantas saja aku merasa heran saat terbangun
tadi, kenapa kantor tempat kerjaku agak
berbeda? sejak kapan aku dan Mira menjadi teman sekantor? sejak kapan aku
punya teman satu kantor bernama Sandi? terlebih saat aku keluar dari kantor
yang aku tahu bahwa aku baru saja keluar dari kantor pemerintah BPN.
Samar-samar aku ingat pernah Praktek Kerja di BPN sebelumnya.
“Ka!
Ka…! Kok diam?”
“O-oh
iya, Mir kenapa?”
“Gak
kok, gak jadi!!”
Selama
makan, Aku lihat Mira tampak lahap, sedang aku memilih terdiam melamun bisu masih
terbawa kebingungan yang tampak sudah terjawab. Aku berusaha memutar otakku,
mencari arsip ingatan-ingatan masa PKL yang sudah tersimpan lama, agak berdebu
sih. Aku mencoba mengingat tentang ‘pergi makan mie ayam dengan Mira, dan apa
yang terjadi setelahnya’.
“Ka…
jangan melamun terus, kenapa. Cepet makan, bentar lagi jam istirahat kelar lho!” Aku menatap Mira, perempuan cantik
disampingku. Air muka jelitanya yang sudah lama kurindukan. Senyum seri dari
gigi gingsulnya. Tampak manis. Wangi permen karet dari parfumnya selalu
membuatku serasa ingin terus berada disampingnya.
“K-kenapa
liatin aku terus?” Mira tampak gugup, wajahnya memerah sipu.
Aku
tersenyum. Ada haru yang menggebu dalam hatiku. Aku berterima kasih karena
mendapat kesempatan bertemu dengan Mira lagi. Tapi kepada siapa aku harus
berterima kasih? pada suara dalam cahaya putih itu kah? Pada pohon jambu kah?.
“Geer
banget.” Aku pura-pura mencebik, kemudian segera ikut menyantap mie ayam.
“Buruan
makannya,” ketus Mira yang tampak sudah menghabiskan makannya.
“Iya.
Dih kok malah nge-gas gitu.”
“Biarin!”
Mira mendengus.
Setelah
makan, kami hendak kembali menuju kantor. Aku tiba-tiba teringat dengan apa
yang akan terjadi setelahnya: setelah makan Mie Ayam. Hari itu adalah hari
terakhir siswa SMK Cilawu PKL: Mira dan teman-temannya di Kantor BPN. Hari itu
adalah hari terakhirku dengan Mira. Pulang PKL nanti akan ada perpisahan dari
kelompok PKL sekolahku dengan Kelompok SMK Cilawu. Acara itu akan diadakan sembari makan-makan.
Ya, ditempat makan KFC Ramayana.
Aku
ingat. Lalu besok dan seterusnya aku akan kehilangan kontak dengan Mira. Karena
Esok, aku akan kehilangan Ponselku di dalam angkot perjalanan pulang. Parahnya
lagi, aku tidak sempat menyatakan perasaanku pada Mira, atau lebih tepatnya aku
belum pernah berani. Ya dan aku harus merubah masa laluku. Dan aku akan
menyatakannya sekarang.
“Mir!”
Aku menarik lengan Mira
Mira
menatap heran padaku.
“Aku…
aku mau ngomong sebentar!”
“Ngomong
apa?”
“Aku
gak mau penyesalan itu menghantuiku lagi, Mir. Aku……………………… sama kamu”
“Aku
sama kamu apa, Ka?” Mira seolah tak jelas mendengar ucapanku.
“Aku……………sama
kamu”
“Bisa
nggak, gomongnya yang jelas, Ka?”
“Aku……..
sama kamu!”
“Aku
sama kamu, apa?
Aku
jatuh cinta sama kamu. Hatiku berusaha kuat berteriak mengucapa
kata ‘Cinta’. Tapi entah kenapa sulit sekali untuk kedua bibirku
mengucapkannya. “Aku……….sama kamu”
“Iya
apa?” Mira lagi-lagi seolah tak jelas mendengar ucapanku.
Aku
menghela nafasku. Kesal. Aku bingung dengan apa yang terjadi. Aku gelisah. Aku
mencoba menggerakan kedua tanganku, mencoba membentuk lambang cinta dengan
jari-jariku, namun sial, tiba-tiba aku lupa bagaimana bentuk cinta itu. Seperti
apa bentuknya?
“Kamu
ngapain, Ka” Mira tampak merasa heran dengan tingkahku.
Aku
berkeringat dingin. Kenapa rasanya sulit sekali untuk menyatakan cinta. “Mir.
Aku…,” kedua mataku berkaca-kaca. Kesal sekali, sampai aku ingin menangis.
“Iyah
kenapa, Ka?”
“Aku…….sama
kamu” dengan nada sumbang aku kembali berucap. Namun tetap tak juga bisa aku
mengucap kata cinta.
Aku
kemudian mencoba untuk mendekap Mira, berharap perasaanku sampai dalam peluk.
Sial. Tak berhasil kudekap. Mira menghindariku.
“K-kenapa?”
“Kamu
tahu, Ka. Sekalipun kamu mendekapku, perasaanmu tidak akan pernah sampai!” Mira
menatapku tajam.
Kenapa
dia tahu? Aku terdiam bingung.
“Untuk
apa kamu mengubah hal yang sejatinya tak bisa kamu ubah? Aku hanyalah masa
lalu. Lupakan aku! Yang terjadi, itu adalah takdir. Kamu harus terima itu.
Buang semua penyesalanmu itu. Aku melanjutkan hidup dengan membuang penyesalan
itu. Penyesalan karena terlalu gengsi jika menyatakan perasaan di waktu
pertama. Kamu harus hidup dengan membuangnya juga. Biarkan masa lalu terbingkai
dengan kenangannya. Tatap esok untuk menuju masa depan. Buatlah bingkai yang
lebih indah dan berwarna. Bangun, Ka! kamu harus bangun.” ucapnya dengan wajah tersenyum
Aku
ternganga. Tiba-tiba aku tak bisa menjawabnya, mulutku sepenuhnya tak bisa
mengeluarkan suara.
“Bangun,
Ka! Buang penyesalanmu.”
Aku
masih terus berusaha berbicara, mengeluarkan suara. Air mataku meleleh karena
kesal dengan suaraku. Kenapa tiba-tiba aku membisu. Hatiku menjerit lebih
kesal.
“Bangun,
Ka! buang penyesalanmu”
Aku
menggeleng kepala. Enggan menerimanya.
Plak!
Mira
menamparku. “Bangun!”
Plak!
Plak!
“Bangun,
Ka! udah siang!”
“Ka…!”
“Bangun…!”
seseorang membangunkanku.
“Kenapa
kamu sampai nangis gitu?” tanya Ibuku.
Aku
bangun dengan setengah bingung, mengusap air metaku. “Mira mana, Bu?”
“Mira
siapa? sana mandi, nanti telat ngantor!”
Cerita yang berakhir komedi, point yang bagus, kenyataan g bisa diubah
BalasHapusAlhamdulillah terima kasih kak... 🤭
BalasHapusKeren, ide ceritanya kreatif banget, semangat Author, terus kembangkan ya👍🏻
BalasHapusMasya Allah Alhamdulillah, Insyaallah kak 🤗
HapusMassyaAllah
BalasHapusBagus bener Kak tulisannya. Berasa ikut tertampar sama kata-katanya.
Ya, seberapa besar sesal kita di masa lalu, itu tetaplah masa lalu. Tak perlu menyesal, tapi harus beranjak dan memperbaiki.